Muhammadiyah “Mazhab Masangan Wetan”: Pergulatan Pemikiran Aktivis Menafsir Muhammadiyah-Islam-Indonesia
Muhammadiyah “Mazhab Masangan Wetan” merupakan istilah untuk menggambarkan sebuah konstruksi pemikiran dari hasil refleksi pemikiran dan pergulatan sosial penulis sebagai Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) di daerah Desa Masangan Wetan Cabang Sukodono Sidoarjo Jawa Timur dalam memahami (menafsir) dinamika Muhammadiyah, Islam dan Indonesia dari berbagai sudut pandang dan berbagai persoalan yang sudah, sedang, maupun prediksi yang akan terjadi. Desa Masangan Wetan merupakan tempat tinggal penulis dalam berkeluarga dan merintis, membangun dan mengembangkan dakwah Muhammadiyah di basis terkecil (ranting desa) berdiri 24 Februai 2024. “Ranting Penting Cabang Bekembang Muhammadiyah Jaya” sebagai motivasi para jemaah dan pengurus untuk mendakwahkan Muhammadiyah di tengah mayoritas Islam mazhab Nadhliyin (NU) dan keterbatasan modal sosial, tetapi dengan keterbatasan tersebut menjadikan semangat (ghirah) untuk terus mendakwahkan Muhammadiyah “Mazhab Masangan Wetan”. Pergulatan sosial tersebut menjadikan latar penulis dalam melakukan proses refleksi pemikiran menafsir Muhammadiyah-Islam-Indonesia di tengah realitas perubahan Masyarakat bukan di ruang hampa. Artinya refleksi pemikiran ini merupakan hasil penulis bergulat hidup berjuang, berdakwah, menangis dan tertawa bersama jemaah dan pengurus ranting Muhammadiyah Masangan Wetan. Konstruksi dasar Muhammadiyah “Mazhab Masangan Wetan” yang dicitakan adalah Muhammadiyah sebagai pusat peradaban masyarakat untuk membangun kesadaran akan cinta terhadap keilmuan dalam rangka membangun peradaban iqra di dunia Islam dan masyarakat Indonesia. Pembangunan kesadaran cinta belajar (sinau) untuk mengembangkan tradisi keilmuan menjadi sangat penting dan strategis di kalangan masyarakat Muslim Indonesia terutama jemaah Muhammadiyah. Muhammadiyah “Mazhab Masangan Wetan” mendorong pada Jemaah Muhammadiyah agar terbangun (noto) tiga kesadaran dalam dirinya (jiwa) dan dalam mengembangkan Persyarikatan Muhammadiyah. Tiga kesadaran itu adalah: Pertama, menata hati “noto ati” merupakan kesadaran teologis yang bermula dari inna ma ‘amalu bi an-niyat. Sesungguhnya semua perbuatan manusia tergantung dari niatnya, yang terletak di dalam hati. Noto ati merupakan penataan kesadaran niat yang bersumber dari nilai keislaman. Bahwa tujuan akhir dari semua perbuatan orang muslim adalah bermuara pada ridha Allah SWT (mardhatillah). Artinya semua pergerakan (dakwah) yang dilakukan oleh aktivis Muhammadiyah bertujuan ibadah dalam rangka mendapatkan keridhaan Allah SWT. Sebagai wujud dari investasi kebaikan akhirat. Kedua, menata pikiran “noto pikir” merupakan kesadaran filosofis seorang Muslim akan kewajiban selalu belajar sinau iqra dan mencintai ilmu. Kesadaran ini terinspirasi wahyu pertama yaitu Q.S Al-Alaq 1-5. Karena itu prinsip yang harus dipegang oleh aktivis dakwah Muhammadiyah adalah membaca, diskusi, dan riset. Ketiganya adalah tradisi yang harus terus dipelihara dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Ketiga, menata perilaku “noto laku” merupakan kesadaran akhlak. Sebuah kesadaran tertinggi dari aktivis dakwah Muhammadiyah untuk selalu berusaha membangun perilaku (akhlak) kebaikan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun tanpa pandang suku, agama, ras, dan golongan (SARA). Dengan prinsip fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) maka komitmen yang dibangun aktivis dakwah Muhammadiyah adalah “jangan malu berbuat baik” dan “tanam terus kebaikan di mana pun, kapan pun”. Mengapa membangun tradisi dan kultur keilmuan menjadi sangat penting di kalangan umat Islam, terutama Jemaah Muhammadiyah? Dalam kitab Mawa’iz Al-Usfuriyah dikutip oleh Abu Bakar Aceh, dijelaskan dialog antara Ali ibn Abi Thalib dengan seorang sahabat terkait keutamaan ilmu. Kata Ali ibn Thalib ilmu itu pusaka para Nabi dan Rasul, ilmu akan memelihara kehidupan di dunia dan akhirat, ilmu menyebabkan banyak teman, ilmu semakin dikeluarkan semakin bertambah, orang berilmu selalu dipanggil secara mulia, ilmu tidak ada pencurinya, orang berilmu diberi syafaat di hari kiamat, ilmu tidak akan habis walau tidak ditambah, ilmu membuat hati terang benderang, harta sering membuat hati gelisah. Selain penguasaan keilmuan dan adab (akhlak) oleh para aktivis dakwah Muhammadiyah adalah mampu memahami dan melaksanakan ajaran Islam sebagai suluh kemanusiaan atau rahmatan lil alamin, dalam bahasa Muhammadiyah adalah ajaran Islam moderat berkemajuan. Adapun nilai-nilai moderasi Muhammadiyah adalah karakter dasar bahwa Islam merupakan rahmat bagi semua alam yang penuh damai dan seimbang. Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir, moderasi Islam berarti membumikan Islam sebagai ajaran yang moderat untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Bangsa Indonesia sangat moderat. Hal itu terpotret dari realitas kemajemukan SARA yang kemudian berkonsensus melahirkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Pancasila menjadi titik temu semua ideolog, paham, dan orientasi semua komponen bangsa Indonesia. Modal dasar Pancasila ini menjadi kekuatan untuk merancang Indonesia dan keindonesiaan yang moderat dengan cara moderat. Sementara, menurut Prof. Din Syamsuddin, prinsip jalan tengah Islam (wasathiyah) yang menjadikan umat Islam sebagai umat tengahan (umatan wasathan) menekankan prinsip keseimbangan, toleransi, moderasi anti-ekstremisme. Begitu pula Pancasila adalah ideologi jalan tengahan. Posisi tengahan merupakan nilai keseimbangan antara orientasi ketuhanan dan kemanusiaan. Nilai-nilai moderasi berkemajuan merupakan cita Muhammadiyah Mazhab Masangan Wetan sebagai landasan untuk menyemai dan menyebarkan gagasan dan gerakan moderasi di tengah masyarakat plural Indonesia. Untuk membangun sikap moderasi itu, ada empat cita Muhammadiyah “Mazhab Masangan Wetan”. Pertama, moderasi pemikiran keislaman. Sebuah kesadaran yang ingin mengembalikan kembali kajian-kajian keislaman secara terbuka. Dengan keseimbangan pendekatan metodologi antara keilmuan klasik dan kontemporer. Hal ini menjadi penting di tengah penggiringan pemikiran Islam pada wilayah ideologi dan metodologi homogenitas-tekstualis. Sehingga mudah terjebak pada pengkultusan dan penyempitan kebenaran mutlak pada sebuah mazhab pemikiran Islam. Situasi tersebut berbahaya bagi perkembangan pemikiran Islam dan muda terjatuhpada stagnasi dan kejumudan. Kedua, moderasi kultur keagamaan. Sebuah kesadaran yang ingin membangun kehidupan keagamaan yang inklusif penuh kedamaian dan keseimbangan. Ini sangat penting di tengah arus kehidupan beragama yang saling ‘mengeras’, intoleran penuh konflik antarumat beragama di Indonesia. Kondisi ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsung kehidupan keagamaan yang majemuk. Sehingga diperlukan bangunan kultur moderasi keagamaan di Indonesia untuk keutuhan persatuan Indonesia. Ketiga, moderasi pola kebangsaan. Sebuah kesadaran yang ingin menjaga rumah besar Indonesia yang damai, toleran, nyaman, keseimbangan hak-kewajiban di bawah ideologi Pancasila. Pancasila adalah ideologi final dan tengahan. Perekat dari semua elemen kebangsaan majemuk yang disepakati sebagai konsensus ideologi bernegara dalam kehidupan berbangsa. Ini menjadi sangat penting di tengah maraknya sekelompok masyarakat yang berusaha ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, serta gerakan separatisme dan disintegarsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keempat, moderasi kemuhammadiyahan. Sebuah kesadaran yang ingin menjaga ideologi dan paham moderasi keagamaan Muhammadiyah dari infiltrasi ideologi kelompok lain. Juga mengembangkan tradisi keilmuan dalam rangka merawat ideologi pembaharuan (tajdid) yang hampir hilang. Hal ini sangat strategis di tengah arus maraknya gerakan infiltrasi ideologi radikal ke Muhammadiyah dengan beragam jalur. Juga di tengah mengerasnya arus pemikiran keislaman di Muhammadiyah, sehingga hampir hilang elemen penting ideologi tajdid yang terbuka dan berdasar keilmuan, bergeser pada pola kejumudan dan ketertutupan khazanah pemikiran Islam. Keempat moderasi itulah yang kemudian kita sebut dengan “Mazhab Masangan Wetan”, sebagai ijtihad yang ingin menyuburkan tradisi dan khazanah pemikiran dan sikap moderasi di kalangan umat Islam Indonesia, terutama di Muhammadiyah. Adapun sistematika buku Muhammadiyah “Mazhab Masangan Wetan” terdiri dari empat bagian besar. Bagian pertama berisi tentang hasil kajian (tafsir) penulis terkait persoalan, fenomena dan posisi Muhammadiyah di tengah arus perubahan masyarakat lokal, nasional, maupun global dalam merespons perubahan dan dinamika masyarakat, mulai dari persoalan teologi, ideologi, sosiologi, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Bagian kedua berisi tentang hasil kajian (tafsir) penulis terkait persoalan, fenomena dan posisi keislaman di tengah arus perubahan masyarakat lokal, nasional, maupun global dalam merespons perubahan dan dinamika masyarakat, mulai persoalan teologi, ideologi, sosiologi, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Bagian ketiga berisi tentang hasil kajian (tafsir) penulis terkait persoalan, fenomena dan posisi Indonesia di tengah arus perubahan masyarakat lokal, nasional maupun global dalam merespons perubahan dan dinamika masyarakat, mulai persoalan teologi, ideologi, sosiologi, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Bagian keempat, berisi tentang refleksi kesadaran rasa (emosi) penulis memahami (menafsir) perubahan dan dinamika masyarakat Muhammadiyah-Islam-Indonesia, mulai persoalan teologi, ideologi,sosiologi, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya dalam bentuk karya sastra (puisi) dan narasi tasawuf.