PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
Pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Hal ini dlakukan sebagai bentuk implementasi dari salah satu tuntutan Reformasi tahun 1998. Perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 dilakukan oleh MPR sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Dalam melakukan perubahan tersebut, maka MPR menetapkan lima kesepakatan dasar, yaitu tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; mempertegas sistem pemerintahan presidensial; Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh); dan melakukan perubahan dengan cara addendum. Salah satu konsekuensi dari perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah dibentuknya lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Ide untuk pembentukan Mahkamah Konstitusi ini merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi berawal dari diadopsinya ide Constitutional Court dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh MPR pada tahun 2001. Gagasan tentang Constitutional Court tersebut kemudian dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar NRI 1945 sebagai hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada tanggal 9 Nopember 2001. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ditetapkan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD Negara RI tahun 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR untuk sementara ini menetapkan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 hasil Perubahan Keempat. Pada tahap selanjutnya, DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan yang mendalam, DPR dan Pemerintah kemudian menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu, yang selanjutnya dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden menetapkan hakim konstitusi untuk pertama kalinya, yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Tahapan perjalanan Mahkamah Konstitusi ini selanjutnya merupakan pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD Negara RI 1945. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan yang berwenang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya menurut UUD NRI Tahun 1945, pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) macam kewenangan dan juga 1 (satu) kewajiban. Pembahasan tentang Mahkamah Konstitusi dalam buku ini akan diurai dalam bab-bab tersendiri, yang fokusnya pada kewenangan mahkamah konstitusi dalam pembubaran partai politik. Buku ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang berguna untuk memahami berbagai hal terkait dengan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tergolong masih baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, oleh karena itu penerbitan buku-buku seperti ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan para pembaca atau siapa saja yang telah bermaksud menambah pengetahuan dan wawasan tentang Mahkamah Konstitusi beserta segala kewenangannya, termasuk persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Lembaga tersebut.