Relevansi Nilai Gontor
Buku yang berjudul, Relevansi Nilai Gontor bagi Pengembangan Karir Profesional: Pemikiran para Doktor dan Guru Besar Alumni, merupakan kumpulan refleksi para alumni Pondok Modern Gontor yang berprofesi sebagai akademisi di berbagai perguruan tinggi, pesantren dan lembaga pendidikan lain di Indonesia dan juga Malaysia. Karena kecintaan pada dunia akademik, setelah menamatkan pesantren, para penulis kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di dalam dan luar negeri sehingga dapat mencapai gelar doktor. Beberapa penulis bahkan kemudian meraih gelar Guru Besar. Dunia akademisi adalah salah satu dari sekian banyak profesi yang dipilih oleh para alumni Gontor. Dalam buku ini, para penulis membeberkan pandangan tentang berbagai nilai yang sudah Gontor tanamkan selama mereka menjadi santri dan memberikan dampak positif pada kehidupan pasca pesantren. Nilai-nilai tersebut berkaitan dengan berbagai aspek seperti kepemimpinan dan peningkatan sumber daya manusia, pendidikan, bahasa dan seni budaya, serta nilai-nilai pengembangan jiwa filantropi, sosial dan interkultural. Ditulis berdasarkan penghayatan mendalam terhadap pengalaman hidup semasa di pesantren, serangkaian tulisan dalam buku ini merupakan kristalisasi dari berbagai pengalaman hidup dalam dunia akademik. Pengalaman masa muda yang sangat menentukan jalan hidup para penulis sangat penting untuk menjadi inspirasi bagi orang lain, terutama anak muda generasi Islam. Meskipun topik dari rangkaian tulisan dalam buku ini beragam, sesuai dengan profesi yang mereka jalani, para penulis bersepakat bahwa pengalaman menjadi santri Gontor merupakan sebuah milestone terbaik dalam kehidupan. Kehidupan di pesantren menjadi good start dalam pengembangan kompetensi dan kepribadian sebagai generasi muda. Periode emas ini menentukan langkah mereka selanjutnya. Melalui goresan pena mereka, setiap penulis mengajak generasi muda, terutama umat Muslim, untuk berani menjadi santri. Seiring dengan pengakuan pemerintah akan kualitas proses pembelajaran di pesantren, santri sudah tidak lagi dianggap sebagai the second citizens. Para santri memiliki kualifikasi yang sejajar dengan warga lain yang belajar di luar pesantren. Lebih dari itu, dinamika kehidupan 24 jam di pesantren menjadi nilai plus dalam menumbuhkan solidaritas dan ukhuwah saat para penulis menjadi santri dan setelahnya. Untaian kisah inspiratif dalam buku ini diharapkan dapat menjadi stimulasi bagi para pembaca generasi muda untuk mengembangkan tekad dan kepercayaan diri untuk menjadi santri. Bagi para orang tua, inspirasi dalam buku ini dapat diwariskan kepada anak dan cucu kelak. Dalam era ‘post-secular turn’, menjadi santri dan belajar di pesantren adalah alternatif dan solusi cerdas dalam mengembangkan sumber daya manusia Indonesia. Pembinaan mental kemandirian dan kompetensi bahasa asing (Arab dan Inggris) para santri menjadi social capital yang penting dalam menjalani kehidupan sebagai global citizens.