Nuansa Perdata Dalam Perkara Pidana
Nuansa perdata (sengketa hak, perjanjian/ingkar janji, ganti rugi, atau melanggar hukum/onrechtmatige daad) dalam penanganan perkara pidana menarik untuk dibahas dan dikaji mengingat beragam pendapat dan penafsiran terkait penyelesaian hukumnya, baik dalam perspektif teori hukum, pendapat pakar hukum pidana, maupun yurisprudensi. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim “berwenang” menunda atau menangguhkan perkara pidana dengan pertimbangan adanya perselisihan prayudisial (prejudicieel geschill). Prinsip penerapannya menunggu putusan perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap karena memiliki relevansi dan menentukan pembuktian perkara pidana. Selanjutnya, mengenai perbuatan tersangka/terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana melainkan perbuatan yang termasuk domain hukum perdata, fakta hukum ini menjadi alasan untuk penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat (2) KUHAP), penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP) dan apabila perkara tersebut sampai pada pemeriksaan di persidangan maka perkara diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Esensi pelaksanaan “wewenang” atau penyelesaian perkara pidana tersebut memerlukan pemahaman terhadap anatomi perkara, karakteristik dan domain hukum, baik perdata maupun pidana, dan memahami inti delik (bestanddelen) dari pasal yang disangkakan/didakwakan serta pelaksanaan ketentuan acara pidana secara tepat. Dimensi perdata berikutnya tentang pemenuhan “hak” berupa gugatan ganti rugi sebagai akibat perbuatan tindak pidana yang diajukan oleh pihak yang dirugikan (korban) kepada Pelaku, proses pemeriksaannya digabungkan dalam persidangan perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP). Kemudian, tata cara pengajuan dan pemberian ganti kerugian kepada tersangka/terdakwa/terpidana/ahli warisnya sebagai akibat penanganan dan penyelesaian perkara pidana yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP). Terakhir, uraian mekanisme pengajuan dan pemberian restitusi atau kompensasi dalam perkara tindak pidana tertentu kepada korban atau keluarganya yang secara teknis diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022.