Bali Membangun Bali Volume 2 Nomor 1 April 2019
Tidak terasa Indonesia dihadapkan ajang politik sangat besar pada tanggal 17 bulan ini. Dikatakan sangat besar karena di era reformasi (sejak 1998) yang merupakan amanah perwujudan demokratisasi ini terdapat penyerentakan pemilihan presiden dan legislatif (DPR, DPD, DPR provinsi, dan DPR kabupaten/kota). Ini semacam two in one (pemilihan eksekutif dan legislatif) ataupun three in one (pemilihan presiden, DPR, DPD) dalam kepemiluan. Tentu arah dan tujuannya demikian positif. Sebagaimana biasanya, menarik membahas pesta demokrasi yang merupakan pestanya rakyat. Bumbu-bumbunya selalu banyak dan diracik oleh tangan-tangan dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Sebagai pasar politik, yakni pemilih dalam Pemilu, rakyat sebenarnya hanya membutuhkan kesederhanaan saja: kehidupan yang lebih baik dan berkualitas yang lahir dari proses Pemilu yang jujur, adil, dan berlangsung damai. Boleh panas sebentar tetapi seusai pesta tersebut kehidupan seharusnya normal kembali karena semua pemilih adalah satu saudara, sebangsa dan setanah air. Ternyata lebih dari itu, Pemilu kali ini sungguh bukan sekadar tradisi atau ritual yang dilaksanakan setiap lima tahun. Pada perhelatan tahun ini (2019), salah satu titik pentingnya adalah munculnya kekuatan generasi milenial selaku pemilih di dalamnya. Dalam catatan beberapa sumber, jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sekitar 80 jutaan atau menyumbang 35% suara. Salah satu ciri pokok generasi milenial adalah kesangatdekatannya dengan peranti digital, katakanlah dunia media sosial. Sebagaimana dipahami, media sosial adalah sebuah jagat yang hari ini tidak saja mengait generasi milenial tetapi juga hampir semua gen lainnya dalam Teori Gen. Besarnya pengaruh media “dari bawah” seperti itu membuat pakarnya berujar bahwa media itulah pesan (the medium is the message). Jadi bukan isi atau konten atau makna medium yang terpenting tetapi justru (bentuk) medium itu sendiri. Dalam konteks Indonesia terkini, generasi yang dimaksud menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan dalam Pemilu kali ini. Kita paham, dunia media sosial hampir selalu bernuansakan hiperealitas-hiperealitas dan simulakra-simulakra di mana terjadi ketidakjelasan mana yang putih dan mana yang hitam. Di sana ada kebohongan, kepalsuan, dan penyesatan (hoax) demi hasrat berkuasa. Mereka kaum digital tersebut harus kritis yang terkait dengannya. Atas alasan di atas, BALI MEMBANGUN BALI Jurnal Bappeda Litbang Volume 2, Nomor 1, April 2019 menampilkan empat artikel tematik politik kepemiluan. “Pemilihan Umum Indonesia antara Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Liberal” ditulis oleh Anak Agung Ngurah Agung Wira Bima Wikrama dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mahendradatta. “Efek Ekor Jas dan Identifikasi Partai Politik dalam Pemilu Serentak 2019 di Bali” dirangkai oleh Kadek Dwita Apriani dari Program Doktor Ilmu Politik, Universitas Indonesia”. “Partisipasi Generasi Milenial dalam Kancah Politik Nasional 2019” diketengahkan oleh I Made Wimas Candranegara, I Putu Eka Mahardhika, dan I Wayan Mirta dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Warmadewa. Adapun “Perempuan Bali dalam Kontestasi Pemilu: Kuantitas vs Kualitas” ditampilkan oleh IGAA Dewi Sucitawathi dan I Wayan Joniarta dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Undiknas. Tulisan-tulisan tersebut sengaja dipilih dari berbagai riset perguruan tinggi yang dilakukan ilmuwan-ilmuwan yang menguasai bidang-bidang tersebut. Terdapat juga satu tulisan perdana dari komunitas Bappeda Litbang Provinsi Bali sendiri. Dalam catatan Redaksi, baru kali ini penulis internal muncul. Dalam hal ini, Ekapria Dharana Kubontubuh yang insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung mengkonstruk “Bali Bebas Sampah Plastik (menuju “Clean and Green Island”) sedemikian lincah dan enak dibaca dengan tak kalah ilmiahnya. Ekapria Dharana Kubontubuh berasal dari Sub Bidang Inovasi dan Teknologi, Bidang Penelitian dan Pengembangan. Akhirnya edisi kali ini ditutup oleh I Nyoman Anom Fajaraditya Setiawan dengan “Mulat Sarira”-nya. Selamat menunaikan ibadah demokrasi!