Menggadaikan Ingatan
Studi ini ingin menyatakan bahwa pengatasnamaan perdamaian atau rekonsiliasi dengan menggunakan islah sebagai dalih tanpa memperhatikan sejumlah syarat atau mekanisme bisa menjadi preseden buruk bagi penuntasan kejahatan HAM di Indonesia. Disebut preseden buruk karena islah hanya menjadi alat impunitas pelaku dari kejahatan yang pernah dilakukannya. Lebih jauh, jika dibiarkan, penggunaan islah bisa menjadi suatu hal yang banal. Maksudnya, orang bisa melakukan islah tanpa perlu mengetahui mekanisme hukum Islam itu sendiri yang sudah mengaturnya. Penyelesaian pelanggaran masa lalu lewat islah, seperti kasus Talang Sari (1989), Tanjung Priok (1984), maupun konflik elit politik Islam adalah banalitas retorik penggunaan islah sebagai bagian dari ajaran Islam, ketimbang sebagai proses penyelesaian alternatif yang disepadankan dengan rekonsiliasi yang selama ini diterapkan di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Rwanda, Chili, dan Argentina. Dalam konteks kasus Tanjung Priok, penyelesaian lewat pengadilan HAM Ad Hoc sangat diharapkan oleh pelbagai elemen masyarakat. Selain yang menjadi korban adalah komunitas muslim, kasus Priok adalah satu-satunya, selain pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur yang dapat diangkat ke pengadilan. Sebab itu, kasus Priok memiliki beban ideologi yang relatif lunak, dibandingkan dengan kasus-kasus pelanggaran kemanusiaan lainnya, sehingga dimungkinkan untuk menjadi pembuka diangkatnya kembali warisan kejahatan masa lalu yang lainnya selama pemerintahan rejim Soeharto.