PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN INTEGRASI ILMU
Sejarah ilmu dalam islam diawali dari informasi Alloh Swt kepada nabi Adam as. (QS. Al Baqoroh: 2). Dalam sejarah yang disimpelkan akhirnya ilmu itu sampai kepada kita di hari ini. Dalam al-Qur‘an sendiri dijumpai penggunaan kata ilmu[1]. Ini menunjukkan bahwa al quran sangat serius memberikan informasi tentang ilmu. Perkembangan ilmu bermula dari sikap kuriositas (rasa ingin tahu) manusia dan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Karena memiliki potensi akal, rasa, karsa, dan mata hati (bashîrah), termasuk spiritualitas (God Spot, noktah Ilahiyyah) yang ada dalam dirinya, manusia selalu terdorong untuk mengetahui sesuatu, memahami berbagai obyek yang ada di sekitarnya, mencari jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang mengusiknya, baik mengenai alam sekitarnya (makro kosmos) maupun mengenai alam dirinya sendiri (mikro kosmos)[2]. Dalam konteks sekarang maka perlu dipahami bagaimana ilmu itu bertransformasi sehingga sampai pada kita di hari ini, ini menjadi penting agar proses trnformasi dan intregrasi ilmu bisa tertangkap secara utuh dan tidak bias. Disamping itu pemahaman proses ini akan memperjelas posisi ilmu dalam sejarah demi menghimdari pembelokan Sejarah. Prof. Kuntowijoyo pernah mengingatkan tentang arti penting sejarah bagi suatu bangsa. Sejarah tidak hanya berguna secara intrinsik, tetapi juga berguna secara ekstrinsik. Sejarah berguna secara intrinsik tidak hanya untuk mengetahui masa lampau, tetapi juga sebagai ekspresi pernyataan pendapat. Sejarah berguna secara ekstrinsik tidak hanya untuk pendidikan moral, pendidikan penalaran, dan pendidikan politik, tetapi juga sebagai pendidikan kebijakan[3]. [1] Kata-kata lain yang terkait dengan ilmu yang juga digunakan al-Qur‘an adalah ra’yu (melihat, berpendapat, mengamati, menyelidiki) disebut sebanyak 332 kali, bashar (melihat, memahami, memperhatikan) digunakan sebanyak 149 kali, nazhar (nalar, memperhatikan, memikirkan) sebanyak 99 kali, dan kata `arafa (mengetahui, memahami) sebanyak 24 kali. Sementara itu, kata aql dalam bentuk verba dijumpai setidaknya 48 kali, fikr sebanyak 19 kali, kata lubb yang berarti akal atau nalar sebanyak 6 kali, dan kata hikmah (kebijaksanaan, filsafat, kearifan) disebut ulang 16 kali. Periksa Muhammad Fu‘âd al-Bâqî, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992). [2] Farid Ruskanda, Pemanfaatan dan Penyebarluasan IPTEK Dalam Sudut Pandang Syari'at Islam, (Jakarta: UMJ Press, 1995), hlm. 1. [3] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2001), h. 20-29.