Dalam Kompilasi Hukum Islam, setidaknya ada empat isu yang berkaitan dengan disabilitas; wali nikah, saksi nikah, talak, dan poligami. Dua topik yang pertama tidak banyak ditulis, padahal keduanya merupakan unsur penting dalam pernikahan di Indonesia. Kesahan nikah pun juga tergantung bagaimana status kelayakan wali dan saksi nikah.
Kompilasi Hukum Islam sendiri telah menetapkan bahwa wali nikah penyandang disabilitas wicara dan rungu tidak memilik hak perwalian (pasal 22). Sementara dalam persaksian, hanya penyandang disabilitas rungu yang tidak diperbolehkan (pasal 25). Di sinilah penghulu berperan dalam menentukan status kelayakan keduanya. Apakah penghulu juga mengiyakan bunyi pasal itu atau justru sebaliknya? Apa saja aspek yang dipertimbangkan? Lalu, akankah penghulu membawa narasi hukum Islam emansipatoris atau sebaliknya?
Buku ini menghadirkan bagaimana penghulu di Kota Malang merespons isu disabilitas dalam perkawinan, khususnya pada topik wali dan saksi nikah. Nalar hukum seperti apakah yang digunakan oleh penghulu dalam menentukan status kelayakan mereka akan menggambarkan bagaimana representasi wajah humanisme hukum perkawinan Islam di ranah lokal. Karena itu, buku ini berkontribusi penting dalam membangun hukum Islam akomodatif terhadap isu disabilitas dalam perkawinan.