Dalam hal keinginan untuk terus berpuisi, saya taklid pada Octavio Paz. Menurut dia, ketika zaman modern bertampang sedemikian rupa dan puisi terpencil ke ruang-ruang tak terkenali dan sepi sendiri, puisi harus tetap dipestakan dan dirayakan, meski berupa pesta bawah tanah dan dalam kesunyian. Hal itu karena sebagaimana ungkapan saya yang sudah-sudah: saya menganggap menulis puisi adalah sebuah kebutuhan.
Seorang penulis memiliki tanggung jawab personal yang akbar. Ia sepenuhnya sadar bahwa lewat dirinya suara zaman digemakan. Karena itu, kesadaran seorang penulis bukan tanpa pijakan dan menggantung pada langit kekosongan, melainkan berpijak pada dua bahu raksasa: ruang dan waktu. Oleh karenanya, saya pun tak dapat menghindar dari rayuan semangat zaman, tempat ruang dan waktu tumbuh dan bersetubuh, yang melahirkan problematika dan jalan keluar yang khas.
—Mashuri