BERAGAMA YANG MANUSIAWI
Dr. Hj. Salamah Noorhidayati, M.Ag
Pada awal tahun 2020, Dunia dihebohkan dengan munculnya virus corona. Jika ditelusuri, sebenarnya virus ini sudah mulai muncul pertengahan bulan Desember 2019 di Wuhan China, bahkan menurut beberapa laporan, bisa lebih awal dari bulan ini. Namun pemberitaan tentang kemunculan virus ini baru mulai mencuri perhatian dunia ketika tiap hari dan bulan, data orang yang terinveksi semakin banyak bahkan bergerak keluar negara China. Indonesia, pada saat itu masih “adhem” menyikapinya, bahkan terkesan “Arogan” bahwa orang Indonesia tidak akan terkena virus itu karena sering mengkonsumsi berbagai varian herbal,. Walaupun akhirnya, pada pertengahan bulan Maret 2020, pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan “Lockdown” yang kemudian diikuti dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB) untuk daerah-daerah tertentu.
Sejak pemberlakukan Lockdown dan PSPB tersebut, nyaris kehidupan masyarakat mengalami perubahan 180 derajat. Masyarakat tidak diperkenankan untuk melakukan aktifitas di luar rumah. Aturan Work From Home (WFH) mengharuskan semua Lembaga pemerintah merumahkan para ASN-nya. Bukan hanya instansi pemerintah yang sifatnya layanan administratif publik, instansi pendidikan pun terkena aturan. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui media atau via daring. Para pahlawan ekonomi pemerintah dan keluarga pun tidak luput dari aturan ini.
Sikap pro kontra terhadap kebijakan dan peraturan yang diambil oleh pemerintah tak bisa dielakkan. Komentar dan analisis kebijakan dalam berbagai perspekti, baik politik, ekonomi, agama, sosial, dan lainnya terus bergulir. Dengan mendatangkan argument masing-masing, mereka menguatkan pandangannya dan melemahkan bahkan menyerang pandangan pihak lain. Pro kontra tidak hanya terjadi di level elitis. Pada tataran akar rumput pun, terdapat polarisasi pandangan dan sikap. Sebagiannya memilih mengikuti pemerintah sebagai ulil amri (umara’), sebagian mengikuti tokoh agama (ulama) dan sebagiannya mengikuti tokoh masyarakat (yang “dituakan”).
Terlepas dari pro-kontra ini, mayoritas warga mengeluhkan kondisi pandemic, baik yang disebabkan langsung oleh virus Corona maupun akibat dari kebijakan pemerintah. Gara- gara peraturan baru ini mereka harus menjalani kehidupan yang tidak normal. Mereka harus melakukan ritual-ritual khusus sesuai dengan Protokol Kesehatan (Prokes) seperti menggunakan masker dan mencuci tangan dengan handsanitizer atau sabun, tidak melakukan kontak fisik dengan orang lain (physical distancing) dan menjaga jarak antar sesama, (Sosial distancing). Namun sesungguhnya, siapakah sebenarnya korban pandemi Covid-19 ini? Sepintas memang terkesan bahwa para warga yang dirumahkan adalah para korban pandemic. Lalu bagaimana dengan para warga yang terserang langsung oleh virus Corona dan bagaimana keluarga mereka? Secara fisik, si penderita dengan berbagai variasi kasus dan kluster, membutuhkan penanganan khusus secara medis. Mereka membutuhkan bimbingan, pelatihan, peralatan dan layanan yang proporsional dan profesional terlebih bagi mereka yang sedang berjuang melawan virus yang mengancam nyawanya. Di sisi lain, secara sosial, penderita dan keluarganya mengalami masalah “keterasingan” dari lingkungan sosialnya karena harus menjalani isolasi.
Layaksaya sebut dalm konteks ini pernyataaan Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, menyatakan bahwa pandemi Covid-19 merupakan krisis kemanusiaan yang menjadi salah satu tantangan terberat dan terbesar yang dihadapi dunia, pasca Perang Dunia Kedua. Menurutnya, pandemic ini memiliki konsekuensi kesehatan dan sosialekonomi yang parah”. Harus diakui bahwa Virus Corona memang tidak mengenal suku, bangsa,negara, bahkan agama. Ia mampu menyerang siapapun tak memandang tuamuda dan laki-perempuan.saya sebut dalm konteks ini pernyataaan Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, menyatakan bahwa pandemi Covid-19 merupakan krisis kemanusiaan yang menjadi salah satu tantangan terberat dan terbesar yang dihadapi dunia, pasca Perang Dunia Kedua. Menurutnya, pandemic ini memiliki konsekuensi kesehatan dan sosialekonomi yang parah”. Harus diakui bahwa Virus Corona memang tidak mengenal suku, bangsa,negara, bahkan agama. Ia mampu menyerang siapapun tak memandang tuamuda dan laki-perempuan.
Inilah sesungguhnya problem yang harus menjadi konsern bagi siapapun untuk memikirkan solusi alternatif, baik dalam bentuk penawaran konseptual maupunlLangkah praktis penanggulangan pandemic Covid-19. Sudah saatnya manusiabersatu, baik dalam level lokal, regional, nasional bahkan internasional untuk bekerja sama membangun solidaritas demi menghentikan virus ini atas dasar dan demi kemanusiaan universal.
Tentunya, pandemi Covid-19 bukanlah satu-satunya problem kemanusia. Banyak sekali kasus dan peristiwa yang terjadi , baik di tanah air maupun di negara lain yang bersinggungan dengan nilai dan unsur kemanusiaan manusia. Fenomena bencana alam dengan beragam bentuknya,kemiskinan, konflik sosial maupun agama, baik individual maupun kelompok, mengundang perhatian tersendiri dan menuntut aksi kongkrit. Solidaritas kemanusiaan layak dibangun dan dibangunkan dari tidur panjangnya dan mimpi indahnya.
Buku yang hadir di tangan pembaca ini adalah tulisan dari mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah yang dikoordinasi oleh Dewan Mahasiswa FUAD periode 2020. Sebagai Fakultas kemanusiaan, isu-isu kemanusiaan yang terjadi di lingkungan sosial maupun komunitas tentu, hampir tidak pernah luput dari atensi dan aksi mahasiswa kami. Dalam tataran teroritis, gagasan-gagasan segar sering diwacanakan mereka dalam berbagai agenda kegiatan yang diadakan oleh Organisasi Kemahasiswaan (ORMAWA) di lingkungan FUAD. Tidak berhenti dalam level wacana, kegiatan-kegiatan yang sifatnya Aksi Solidaritas, berupa penggalangan dana dan bantuan praktis lain berupa pendampingan korban bencana alam dan layananlayanan lain sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, juga sudah menjadi tradisi.
Bukan masalah kuantitas bantuan dan kualitasnya, tapi bahwa apa yang disebutkan sebagai wujud nyata dari gerak rasa kemanusiaan telah bersinergi dalam nafas para mahasiswa FUAD.. Gerak dan Aksi inilah yang layak kami berikan apresiasi sekaligus dukungan. Sebagai karya antologi yang ditulis oleh banyak mahasiswa dengan tingkat kualifikasi dan skill yang variatif, tentunya, buku ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, saya sebagai Bunda FUAD, bundanya anakanak, memohonkan maaf dan permaklumannya. Akhirnya, pengantar ini, saya tutup dengan sebuah kutipan Quote dari ESENHA “Manusia hidup terbatas usia, namun dengan karya dia akan hidup sepanjang masa, Mata boleh terpejam karena tutup usia tapi Karya nyatanya akan mampu membuka Telinga dan Mata orang-orang sesudahnya “ (esenha, 1203-2020)