Seiring bergulirnya Otonomi Daerah, Sumatera Barat (baca Minangkabau) mendapatkan hembusan angin segar untuk kembali mengimplementasikan kearifan lokalnya (Banagari) dalam kehidupan masyarakatnya. Nagari sebagai struktur pemerintahan yang mendapatkan legalitas formalistik dari negara kemudian muncul di berbagai wilayah Sumatera Barat dengan kembali menghidupkan nama nagari yang dulu pernah eksis. Pemilihan wali nagari menjadi kontestasi politik kultural yang mendapatkan antusiasme dari masyarakat.
Namun seiring berjalannya waktu, keberadaan Nagari dengan perangkat-perangkatnya di hampir setiap pelosok daerah Sumatera Barat tak kunjung menjadi eskalator sosiologis untuk menghadirkan “kejayaan Minangkabau” dan urung melahirkan generasi-generasi baru Minangkabau yang mampu berkiprah luas sebagaimana yang pernah oleh generasi Minang di awal abad ke 20 yang memainkan peranan penting dalam kebangkitan nasional dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Banyak intelektual Minangkabau baik yang berada di ranah maupun yang ada di rantau yang gelisah dengan dinamika Minangkabau saat ini dan khawatir akan masa depan Minangkabau yang dilihat tak kunjung berubah menuju kebaikan. Bahkan mereka merasa “Kembali Banagari” belumlah cukup untuk mengembalikan kegemilangan Minangkabau. Kerinduan akan kebangkitan Minangkabau sebenarnya akan menjadi mustahil ketika para intelektual dan tokoh-tokoh pengambil kebijakan di Sumatera Barat enggan untuk mempelajari kembali dan menginsyafi arti penting keberadaan SURAU sebagai basis pembentukan sumber daya manusia Minangkabau. Keberadaan berbagai institusi pendidikan di Sumatera Barat bisa dikatakan belum berhasil menyamai keberhasilan yang pernah ditorehkan oleh alumnialumni SURAU.