Buku "Anomali Nilai dalam Praperadilan" merupakan buku yang ditulis oleh beberapa akademisi lintas unversitas di Indonesia berkat kerja sama Perhimpunan Dosen Ilmu hukum Pidana (DIHPA) Indonesia. Buku ini memiliki fokus pembahasan pada putusan Praperadilan. Fokus tersebut tentu menjadi keunggulan dari buku ini, sebab belum banyak buku yang fokus membahas dan menganalisis putusan praperadilan.
Dari strukturnya, buku ini dikemas dalam 7 pembahasan, dengan masing-masing pembahasan berdiri sendiri dan dilengkapi dengan referensinya. Struktur tersebut tidak mengharuskan pembaca dengan metode urutan, tetapi bisa langsung memilih pada tema yang diinginkan.
Bagian pertama, pembaca akan disajikan dengan karya kolaborasi Junaidi, Mila Surahmi, dan Desmawaty Romli dengan atikel berjudul "Kewenangan Peradilan dalam Penetapan Tersanga Baru Kasus Korupsi (Analisis Putusan Nomor 24/Pid/Pra/2018/PN. Jkt.Sel)." Tulisan tersebut mengungkapkan bahwa, pemohon praperadilan mendalilkan bahwa telah ada upaya penghentian penyidikan kasus korupsi Bank Century oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tempo waktu 2 (dua) tahun sejak putusan tersebut inkracht. Padahal di dalam berkas perkara status tersebut nama dan peranannya sudah tercantum jelas. Atas dalil tersebut, hakim memberikan putusan yang salah satu amarnya menyatakan bahwa KPK harus segera melakukan penyidikan dan menetapkan Boediono sebagai tersangka dalam perkara korupsi Bank Century.
Adapun tulisan kedua berjudul "Penalaran Hakim dalam Menerima Upaya Banding Terhadap Putusan Praperadilan dengan Objek Ganti Rugi (Studi Kasus Putusan Nomor 49/Pid/2013/PT.SMG) yang ditulis oleh Ramiyanto dan Ani Triwati. Hukum positif telah menegaskan bahwa terhadap semua putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya banding. Dalam praktiknya, ternyata masih ada yang mengajukan upaya banding terhadap putusan praperadilan dengan obyek ganti rugi dan dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang sebagaiman terlihat dalam Putusan No. 49/Pid/2013/PT.SMG. Dalam hal ini, hakim semestinya bertujuan untuk mencapai kepastian hukum sebagai aspek ontologis. Hakim merujuk pada ketentuan KUHAP, tetapi ketentuan itu tidak mengatur secara tegas mengenai objek perkara di Pengadilan Tingkat Banding. Saran penulis adalah ketiga aspek penalaran hukum perlu diperhatikan oleh hakim ketika memutus suatu perkara sehingga dapat menghasilkan putusan yang berkualitas baik.
Artikel ketiga berujudul "Telaah Putusan Praperadilan Nomor 24/PID/PRA/2018/PN.JKT.SEL dalam Upaya Penegakan Hukum (Law Enforcement) di Indonesia" ditulis oleh Zico Junius Fernando, dan Yagie Sagita Putra. Artikel mengungkapkan bahwa praperadilan di Indonesia diatur di dalam Pasal 77 KUHAP yang terdapat perluasan sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 dan ke depan (ius constitutum) pengaturan praperadilan perlu diatur secara lebih baik agar putusan seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel yang melanggar aturan yang ada, tidak terjadi lagi dalam upaya penegakan hukum (law enforcement) di dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Adapun artikel keempat "Problematika Hukum Gugurnya Permohonan Peraperadilan dalam Perspektif Ethics in Criminal Justice" yang ditulis oleh Efendik Kurniawan, Kholilur Rahman. Adapun artikel kelima berjudul "Kekeliruan Epistemologis dalam Penyidikan terhadap Tindak Pidana Administrasi: Menguji Prinsip Kehati-hatian Melalui Praperadilan" yang ditulis oleh Novriansyah. Dilanjutkn artikel keenam berujudul "Diskursus Praperadilan Pra dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia" ditulis oleh Ribut Baidi dan Cuk Indah Mardianto. Adapun terakhir "Penetapan Tersangka dalam Ranah Praperadilan di Indonesia" yang ditulis oleh Anis Rifai, Aurora Jillena Meliala.