Pemilu adalah sebagaimana permainan sepakbola. Dalam permainan sepakbola, tidak mungkin adanya pelanggaran, hanya saja apakah pelanggaran yang terjadi masih dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (tolerable), ataukah melampaui ambang batas toleransi (intolerable), demikian halnya pelaksanaan Pemilu, selalu terdapat pelanggaran-pelanggaran, yang tidak saja dilakukan oleh peserta Pemilu dan anggota masyarakat, juga bahkan oleh penyelenggara Pemilu itu sendiri. Sejarah politik Indonesia kontemporer mencatat, setiap kali Pemilu dilaksanakan, selalu saja muncul protes-protes yang meragukan proses maupun hasil pemilu. Hal ini tidak hanya terjadi pada Pemilu-Pemilu pada masa Orde Baru, tetapi juga Pemilu 1999 serta Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu Presiden 2004. Bahkan Pemilu 1955 yang dikenal sebagai Pemilu paling bersih pun tak sepi dari protes.
Tugas penyelenggara Pemilu adalah mendisain supaya Pemilu tidak diwarnai pelanggaran-pelanggaran. Mungkin saja tidak seluruh pelanggaran ditiadakan, namun andai pelanggaran masih juga berlangsung, pelanggaran yang terjadi tidak merusak dalam bagian yang sangat besar, sehingga menciderai integritas pelaksanaan Pemilu dimaksud. Demi menjaga Pemilu berintegritas, maka mekanisme keberatan tetap (complaint mechanism) tetap dimungkinkan, melalui saluran-saluran hukum Pemilu yang sengaja didesain untuk itu. Namun terhadap pelanggaran yang merusak interitas proses dan hasil Pemilu, maka tindakan hukum dikenakan bagi para pelanggarnya.