Pena Sejuta Rasa (Penerbit Pustaka Tunggal)

Aku tersentak. Memaki diriku sendiri dalam hati. Aku tak tahu, apakah keputusanku untuk bergabung dengannya adalah sebuah kesalahan. Namun mau bagaimana lagi, tak ada orang yang mau bergabung dengan diriku yang over talk. Atau mungkin memang diriku yang ingin dekat-dekat dengan dirinya. Tak ada pilihan lain. Aku mengusap dada. Sabar, Sarah…! Fighting...!

Lantas aku mengejar ketertinggalan langkahku mengikuti lelaki jutek itu. “Oke, aku janji nggak bakalan telat lagi. Sorry, ya?”

Tak ada jawaban. Galih hanya tersenyum kecut. Dia menikmati pergantian langkahnya sembari menghunjamkan pandangannya ke sawah yang menghampar.

“Nng... apa tempatnya masih jauh? Dari tadi belum nyampe-nyampe juga. Kakiku mulai pegal, nih,” keluhku.

“Lo capek? Kalo gitu ngapain lo ngikutin gue? Mendingan lo diem aja di rumah.”

“Euum... nggak, kok. Tenang aja, aku kuat kok. Perjalanan segini tuh nggak ada apa-apanya,” kataku kikuk.

   Lelaki jutek itu hanya mendengus. Wajah tampannya terlihat menyebalkan. Namun tak urung aku tetap bisa bertahan, dan tetap mengoceh walau dia tak menimpaliku di sepanjang perjalanan.

 

document.getElementById('_getDocumentWindow').onclick(window);