Secara kebahasaan, menyebut kelompok masyarakat yang tinggal
di sekitar gunung Bromo di Jawa Timur dengan sebutan
masyarakat Tengger atau Wong (orang) Tengger sudah menjadi
kelaziman dalam beragam perbincangan di ranah formal
akademis, informal atau bahkan non formal sekalipun. Secara
terminologis, label wong Tengger tidak menjadi penanda verbal
yang menunjuk pada satu suku tertentu namun lebih pada sebuah
entitas kultural yang berpusat di sekitaran Gunung Bromo
terbentang secara administratif dari Kabupaten Lumajang sebelah
barat hingga Kabupaten Malang sebelah timur. Sebuah entitas
yang diikat oleh dan mengikatkan diri pada sakralitas-metafisik
Gunung Bromo yang termanifestasi dalam beragam tradisi.
Mendiskusikan dan mencoba memahami ragam tradisi
Tengger adalah sebuah kenikmatan akademis yang cukup
menggoda. Buku Sangsaka Saujana Tengger ini menjadi salah satu
‘diorama’ pembacaan nilai-nilai yang terkandung dalam beragam
tradisi, baik yang tertata dalam ritual ataupun yang sifatnya
habitual-indivudial dan keseharian. Beragam tradisi wong
Tengger - yang ritualistik ataupun tidak - tidak sekedar
menunjukkan aktivitas kultural rutin yang replikatif dari waktu ke
waktu namun semua itu adalah bentuk praktik sosio-kultural yang
relatif fungsional untuk menghadirkan identitas “ke-Tengger-an”
bagi internal wong Tengger. Hal ini sejalan dengan paradigma
berfikir para konstruktivis yang mengatakan bahwa apa dan siapa
kita bukan merupakan hasil dari esensi kedirian tapi lebih sebagai
hasil konstruksi dalam masyarakat tertentu.